Madani & Manusiawi

Great People, Bandung, West Java, Indonesia.

Rasio dokter dgn masyarakat yg dilayani. Menuju Indonesia Sehat 2010.

with 2 comments

Suasana ruang praktek dokter gigi. Biasanya, pasien disarankan 6 bulan sekali cek rutin, minimal pembersihan plak/ karang gigi. Namun, karena keterbatasan biaya, pergi ke dokter menjadi sebuah kemewahan.

Banyak orang tak menyadari bahwa kebutuhan tenaga sangat mendesak dan penting, terlebih dengan merebaknya penyakit flu burung dan flu babi. Rasio yang peduli masih sangat kecil, tak lebih dari 15 %, dan kebanyakan berada di Jawa. Padahal mereka yang bertugas sebagai tenaga kebersihan lingkungan, peralatan medis, hingga limbah medis maupun perumahan, memegang peran kunci dalam menjaga kualitas kesehatan secara umum. Pemerintah sejauh ini hanya bisa memaksimalkan tenaga yang ada dan berharap rumah sakit atau jasa pelayanan kesehatan lainnya secara mandiri menyediakan tenaga sanitasi agar rasionya ideal.

Perbandingan tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk, yang ditargetkan, sbb :

  • Rasio ahli sanitasi per 100 ribu penduduk ( target 40 % ).
  • Rasio dokter gigi per 100 ribu penduduk ( target 11 % ).
  • Rasio apoteker per 100 ribu penduduk ( target 10 % ).
  • Rasio bidan per 100 ribu penduduk ( target 100 % ).
  • Rasio perawat per 100 ribu penduduk ( target 117,5 % ).
  • Rasio ahli gizi per 100 ribu penduduk ( target 22 % ).

62.826 penderita gizi buruk & makanan tambahan di posyandu, puskesmas.

Pemberian makanan tambahan untuk mengatrol kecerdasan anak. 5 tahun pertama kehidupan manusia adalah masa emas. Apa yang anda lakukan hari ini, cara anda berpikir, sudah terlihat ( sama ) di usia 6 tahun.

Timbang badan bayi, untuk mengetahui tumbuh kembangnya normal atau tidak. Kegiatan posyandu di laksanakan di puskesmas atau lingkungan perumahan. Ibu2 PKK sering menjadi motor penggeraknya.

Penderita gizi buruk di kota Bekasi mencapai 62.826 orang atau 0,5 % dari populasi balita di wilayah tsb. Meski demikian, jumlah tersebut masih di bawah batas yang ditetapkan pemerintah pusat.”Penderita gizi buruk yang ditoleransi Depkes sebesar 1 % dari populasi. Kita hanya mencapai separuhnya. Jadi masih di bawah batas yang ditetapkan. Itu tidak terlepas dari sosialisasi yang terus disampaikan kepada ibu2 melalui puskesmas,” ujar Renti Yonti, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Dari jumlah tsb tak ada yang sampai berlanjut ke kwarsiorkor atau pun marasmus, yang membahayakan karena mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.

Menurut Renti, penderita gizi buruk tak hanya didominasi keluarga kurang mampu, namun ada juga dari keluarga berada diakibatkan penyakit bawaan atau malas makan. Seorang balita dikategorikan menderita gizi buruk didasarkan pada indikator umur, tinggi dan berat badan. Ada batasan angkanya dan biasanya berat badannya di bawah garis merah. Pemerintah daerah dan pusat akan membantu pemberian makanan tambahan bagi balita dari keluarga kurang mampu. Pada 2009, aparat Diskes melaksanakan program pemberian makanan tambahan pada ribuan anak penderita gizi buruk. Makanan disiapkan kader yang ditunjuk dengan dana Pemkot Bekasi lalu diberikan pada balita penderita selama 6 bulan.

“Kami tidak memberikan dalam bentuk makanan pabrik, tapi makanan yang diolah kader dengan menu yang berubah-ubah agar si anak tidak bosan. Setelah 6 bulan, kegiatan tsb akan dievaluasi untuk melihat perkembangan berat badan anak,” ujar Renti.

“Karena anak saya termasuk kategori anak dengan berat badan yang tidak sesuai dengan umurnya, maka setiap datang ke posyandu diberi makanan tambahan,” kata Rahma ( 32 ), ibu dengan anak penderita gizi buruk di Puskesmas Rawa Tembaga, Bekasi Selatan, membenarkan soal pemberian makanan tambahan setiap hari selama 6 bulan. ( PR, 26/10/2009 )

Jamkesmas : prosedur rumit atau ( masyarakat miskin ) kurang sosialisasi ?

Semua tahu, pemerintah punya Jamkesmas, yaitu jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin. Namun, belum semua orang miskin yang memanfaatkannya. Apa alasannya ? Sudah miskin, sakit pula. Hal yang sebetulnya tak boleh terjadi di negeri ini. Mengapa ? Pasti akan super sengsara. Miskin saja sudah susah, apalagi ditambah penyakitan. Kecuali mereka yang termasuk beruntung, yaitu memiliki kartu Jamkesmas.

Bukankah UUD 1945 mengamanatkan bahwa penduduk miskin ditanggung negara ? Betul. Dalam kampanye pemilu, sekolah memang gratis. Untuk penduduk miskin disediakan program Jamkesmas. Dalam kenyataan, apa yang dikampanye dan diprogramkan belum sesuai dengan harapan dan ketentuan. Dari sebuah pooling, 100 % responden tahu adanya program Jamkesmas. Sebanyak 83 % responden tahu, orang miskin di sekitar mereka memanfaatkan Jamkesmas. Sebanyak 61 % responden mengatakan baru sebagian pembantu rumah tangga, sopir, satpam, tukang kebun, bersama keluarganya, yang memanfaatkan fasilitas Jamkesmas.

50 % responden tahu orang2 miskin2 yang tak memanfaatkan fasilitas Jamkesmas karena prosedur pengurusannya dianggap terlalu rumit. Sebanyak 37 % responden mengatakan jika sakit, orang miskin itu menanggung sendiri biayanya. Asuransi tak berperan. Biaya berobat ditanggulangi dengan menjual harta benda, hutang, mencari uang atau anak berhenti sekolah. Sebanyak 57 % responden mengaku jika sakit menanggung sendiri biayanya, hanya 17 % yang ditutup oleh asuransi. Sebanyak 22 % responden mengaku hutangnya jadi menumpuk dan tabungannya habis. Sebanyak 44 % responden mengusulkan si miskin mendapat asuransi kesehatan dengan biaya dari pemerintah. ( Gaya Hidup Sehat no.530 )

Written by Savitri

18 November 2009 pada 10:13

Ditulis dalam Ragam

Tagged with

2 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. @ fashion uni :
    Setuju. Udah begitu yang mala praktek pun tidak sedikit. Kita perlu melirik ramuan herbal dari keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya sebagai alternatif pengobatan.

    anisavitri

    12 Februari 2010 at 07:13

  2. masih jauh dari kata ideal. universitas universitas dalam negri masih sangat terbatas meretaskan lulusan dokter.

    fashion uni

    7 Februari 2010 at 21:00


Tinggalkan komentar